MENUJU USIA KEPALA TIGA


Perihal usia, biasanya menjadi hal yang canggung untuk dibicarakan, terutama bagi kaum hawa. Apalagi di Indonesia, banyak sekali saya menemukan perbedaan pandangan tentang status usia seseorang. Misalnya begini, sudah usia pertengahan dua puluh kok belum lulus kuliah sih? Atau, jangan cuma ngejar karir, udah umur segitu mau nikah kapan?
Dan berbagai pendapat lainnya yang kurang lebih sejenis. Saya banyak dengar cerita malahan biasanya anggapan seperti itu datang dari lingkup keluarga. Memang tidak semua, banyak juga yang dari lingkup tetangga, teman sekantor, teman lama yang tiba-tiba saja bertemu de el el.
Saya, sebagai salah satu orang yang sudah sangat kenyang dengan kalimat-kalimat semacam itu semakin menyadari beberapa hal.



Saya masih inget banget waktu kecil saya seringkali merasa ingin cepat dewasa. Gambaran dewasa dalam bayangan saya adalah yang seperti disinetron-sinetron gitu. Penampilan rapi dari ujung rambut sampai kaki, pakai outfit yang senada dengan tas dan sepatu, dan sesekali kumpul dengan sahabat-sahabat tersayang. Yaa memang seperti itu pula yang saya alami, tetapi itu yang hanya terlihat diluarnya saja. Kenyataannya tidak semudah itu.

1. Kita tidak bisa membuat semua orang senang
yang pertama sangat saya sadari adalah, saya bukan ibu peri dan bukan pula santaklaus yang bertugas untuk membuat semua orang senang. Banyak pertimbangan-pertimbangan yang membuat saya berpikir dalam waktu yang cukup lama untuk membuat sebuah keputusan, apalagi kalau keputusan itu mengenai masa depan saya. Jadi, apapun yang saya lakukan dalam hidup, saya sangat bisa menerima apabila ada yang tidak senang dengan hal itu, dan yang terpenting adalah tidak merugikan siapapun.

2. Orang lain tidak berhak ikut campur tentang hidup kita
Di usia menjelang akhir dua puluh-an, pertanyaan basa-basi seperti "kapan nikah?", "si A udah jadi xxx tuh dikantornya, kalau kamu gimana?" dan lain-lain sebagainya sudah menjadi makanan kenyang sehari-hari saya. Biasanya kalau saya ingin cepat menyudahi obrolan, saya hanya jawab dengan singkat "doain aja ya" sambil tersenyum kecut. Menurut saya, kita berhak kok untuk menjawab sesingkat mungkin, atau bahkan tidak menjawab sama sekali.
Tidak tahukah orang tersebut bahwa pertanyaan basa-basinya itu menyinggung orang lain? Bahwa orang yang dia lontarkan pertanyaan sedang berjuang mati-matian untuk mendapatkan pekerjaan impiannya? atau bahwa mungkin orang yang ditanya baru saja dikhianati oleh mantan kekasihnya?

3. Kita pun tidak berhak ikut campur tentang hidup orang lain
masih sangat terkait dengan poin sebelumnya, mungkin kita juga pernah secara tidak sadar melontarkan pertanyaan basa-basi ke orang lain. Ke saudara atau teman lama yang baru ketemu lagi, atau ke tetangga kita, atau siapapun itu. Saya pun pernah melakukan itu tanpa sengaja. Semakin berjalannya waktu saya semakin paham bahwa apapun tentang hidup mereka bukanlah urusan kita. Sama seperti kita berhak untuk tidak merespon pertanyaan basa-basi macam itu, merekapun juga berhak untuk tidak menceritakan apapun tentang hidupnya kepada kita.

4. Jangan mengharap balasan kebaikan dari siapapun
Saya yakin, semua orang dari kecil pasti sudah ditanamkan untuk berbuat kebaikan, entah itu dari orang tuanya ataupun dari materi pendidikan disekolahnya. Semakin kita bertambah usia dan mengenal banyak orang, banyak pemahaman yang berubah tentang berbuat kebaikan.
Dalam pemikiran saya dulu, ketika saya baik sama orang maka orang juga akan baik sama kita. Atau bila dibalik, ketika ada orang yang baik dengan saya maka saya pun harus baik kepada orang itu. Sesimpel itu yang saya pikir. Namun apakah akan sesimpel itu juga ketika saya mulai memasuki lautan kehidupan yang sebenarnya?
Jangan harap sayang!
Anggaplah saya masih memegang teguh ajaran dari masa kecil kita bahwa kita harus selalu berbuat baik sama semua orang, lalu apakah orang lain juga akan berbuat baik ke kita?  ada beberapa versi jawaban yang pernah saya temui

  • 1. ya, mereka akan sama baiknya juga dengan kamu;
  • 2. belum tentu mereka membalas dengan kebaikan;
  • 3. ya, mereka akan baik sama kamu asalkan kamu bisa menguntungkan mereka;
  • 4. mereka bahkan tidak peduli dengan kebaikan kamu.

Mana diantara balasan diatas yang pernah kalian terima? Kalau saya, jujur sudah pernah merasakan kesemua poin balasan diatas, ada yang diucapkan secara langsung dan ada pula yang berupa tindakan.

5. Belajar melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain
Begini, menjelang usia kepala tiga, sudah lumayan sering saya beradu pendapat dengan orang lain. Bisa itu orang tua, saudara kandung, sahabat, teman dekat, rekan kerja, atasan dikantor, atau siapapun. Sangat-sangat wajar kalau kita memiliki pandangan yang berbeda dengan orang lain tentang suatu hal. Tapi yang sangat perlu untuk selalu kita sadari dan pelajari adalah, apa yang menurut kita benar belum tentu orang lain berpikir demikian. Dan juga berlaku untuk yang sebaliknya, kalau menurut kita salah, bisa saja bagi orang lain itu adalah hal yang benar.
Kesal? Pasti.
Tapi itulah kenyataan. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk selalu sejalan dengan kita.

6. Tidak semua orang akan menyukai kita
Arti menyukai disini bukan hanya dengan lawan jenis, tetapi siapapun orang yang mengenal kita. Masih sangat terkait dengan poin-poin yang saya sebutkan diatas, kita juga harus sadar dan (dipaksa) menerima bahwa akan ada orang yang tidak menyukai kita. Dan bahwa mungkin orang tersebut juga ada dilingkungan sekitar kita.
Apakah karena kita jahat? belum tentu juga. Bisa jadi karena mereka menginginkan apa yang kamu miliki, atau bahkan mereka ingin menjadi seperti kamu.

7. Maaf, Tolong, Terimakasih
Ketiga kata diatas selalu dianggap sebagai "koentji" untuk menjalani hidup. Tapi tak jarang juga orang-orang lupa untuk menyebutkan ketiga kata itu dalam kehidupan sehari-hari.


Beberapa hal yang kurang meng-enak-kan diatas harus kita jadikan acuan untuk hidup lebih baik lagi. Tetaplah berbuat baik kepada siapapun, jangan pernah bosan. Dunia yang kejam ini membutuhkan orang-orang baik seperti kita :)

CONVERSATION

0 Comments:

Post a Comment